Sabtu, 29 September 2012

Kamis, 27 September 2012

Kompas, edisi khusus ulang tahun, Rabu, 28 Juni 2000. Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencaraian fakta, penyidikan polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri. Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang. Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana, sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota tapi terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an. Ia bukan hanya mewakili ‘nasib malang’ jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah rendah, berkondisi kerja buruk, dan tak terlindungi hukum, tapi pembunuhannya yang dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian, dan sistem peradilan. Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Ibunya meninggal saat ia berusia 3 tahun (lahir 1968) dan adiknya Wijiati berumur 40 hari. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain. Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini. Tak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tak terlampau miskin, walaupun tidak kaya. Seperti mayoritas anak-anak pedesaan di Indonesia, juga di negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, ia sudah bekerja pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik. Sepulang sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekedar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli. Di kalangan teman-teman dan gurunyanya, di SD Negeri Nglundo, meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tapi kerajinan, minat baca, sikap kritis dan tanggungjawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah selalu berupaya diselesikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tak segan ia mengacungkan tangan meminta penjelasan. Setelah naik kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/82. Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia sesusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain. Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah. Tak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar. Tahun 1989, ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharaga Rp.150,-/bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra Surya –Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang. Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an. Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya, dengan beberapa kawannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal (SPSI). Tuntutan inilah mungkin membuatnya dipindah pihak menejemen ke pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia mondok di pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp. 550,- per hari. Di pabrik itu, seperti kebanyakan buruh lainnya, Marsinah bukanlah termasuk kelompok aktivis. Ia tidak masuk dalam kepengurusan unit kerja SPSI di pabrik ini maupun ikut kelompok informal buruh yang sering berdiskusi membahas kondisi kerja mereka. Waktu luangnya dimanfaatkan secara pribadi untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Belajar menambah pengetahuan menjadi hasratnya sejak bersekolah dulu, karena ia percaya melalui pendidikanlah masa depan seseorang menjadi lebih baik. Suatu common sense yang dianut banyak orang. Pemogokan buruh untuk meningkatkan posisi berunding mereka merupakan hal umum pada ribuan perusahaan manufaktur di berbagai kawasan industri sejak akhir dasawarsa 80-an. Akibat kebijakan upah buruh murah pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, sengketa perburuhan meluas. Intensitas dan skala pemogokan meningkat luar biasa sejak awal 90-an. Tiada hari tanpa pemogokan atau unjuk rasa. Meskipun lebih bersifat spontan atau sporadis, sangat jarang terjadi gelombang pemogokan yang terorganisasikan. Sebabnya sangat jelas, karena lemah atau dilemahkannya serikat buruh serta kendali represif pemerintah yang sangat kokoh melalui birokrasi sipil dan militernya hingga ke kawasan pabrik. Dalam konteks ekonomi-politik inilah tuntutan buruh-buruh PT CPS di akhir April 1993 dan pemogokan mereka, 3-4 Mei 1993, yang berujung pada pembunuhan Marsinah, musti diletakkan. Tetapi dalam seluruh aktivitas perundingan yang melibatkan 24 orang perwakilan buruh (15 di antaranya wakil buruh yang dipilih spontan, dan sisanya 9 orang pengurus SPSI setempat) maupun aksi mogok di PT CPS, 3-4 Mei tersebut, Marsinah tak pernah ikut serta. Pada pemogokan 4 Mei, saat perundingan berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran Muspika setemapat termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo, berlangsung di kantor pabrik, ia malah bekerja seperti biasa. Sementara, pagi hingga menjelang siang itu juga, seorang kawannya yang dituding sebagai pemrakarsa pemogokan tengah memenuhi surat panggilan Kodim dan dinterogasi di Makodim Sidoarjo. Perundingan yang tidak melibatkan pihak perusahaan itu sendiri berjalan lancar. Meskipun ada beberapa kompromi, hampir semua butir tuntutan buruh terpenuhi. Kecuali tuntutan yang lebih ‘politis’ seperti pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak berfungsi mewakili kepentingan mereka. Hal-hal yang dalam wacana pemerintah dipandang sebagai soal-soal normatif seperti kenaikan upah sesuai peraturan UMR, perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil, dijanjikan pihak perusahaan. Meskipun demikian, dalam kerangka bekerjanya rejim pengandali buruh di Indonesia, seperti di negara-negara miltary-beareucratic-authoritarian lainnya, aparat militer menduduki peran sentral. Mereka bukan hanya centéng yang menjadi penjaga malam kepentingan para pemodal, tapi lebih dari itu adalah patron yang kekuasaannya melampaui imperatif kepentingan modal. Sudah menjadi rahasia umum, jajaran birokrasi komando teretorial Orde Baru memperoleh sumber daya ekonominya dari memeras para pengusaha. Baik buruh maupun majikan disandera untuk menciptakan ancaman satu sama lain. Dari ancaman itulah birokrasi militer memperoleh uang. Pada momen tertentu, meski tak harus melalui upaya provokasi, pemogokan buruh dijadikan senjata untuk menodong para pemilik perusahaan agar mereka rela mengeluarkan biaya-biaya keamanan. Pada momen yang lain, dan ini yang sering terjadi, buruh-buruh diancam, diintimidasi dan dikontrol sepenuhnya dalam kendali mereka, bukan kendali pabrik. Apa yang terjadi sore hari 4 Mei 1993 adalah awal dari ujung kematian Marsinah. Menyimpang dari ‘logika’ suksesnya sebuah perundingan, 13 buruh PT CPS yang dicap sebagai dalang oleh penguasa militer setempat dipanggil melalui surat yang ditandatangani sekretaris kelurahan Desa Siring agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Malamnya, di pemukiman buruh sekitar pabrik, mengetahui teman-temanya besok akan dipanggil, Marsinah menulis suatu catatan kepada seorang temannnya. Isinya semacam petunjuk jawaban bagi rekan-rekannya bila mereka dinterogasi di Kodim. Ia pun mengatakan pada kepada rekan-rekannya, bila mereka diancam Kodim, ia akan membawa perosalan ini ke seorang pamannya di Kejaksaan Surabaya. Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan Kodim. Di markasnya, Sidoarjo, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat tersebut. Selepas Maghrib, mereka menerima pembagian uang pesangon yang diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas itu. Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim. Suatu kaidah normal dalam logika rejim pengendali buruh. Sementara itu, sepulang kerja giliran pagi, Marsinah bertemu dengan salah satu temannya dan mengingatkan rencana pertemuan para buruh untuk mendengar informasi rekan-rekannnya yang dipanggil. Di rumah pondokannya, ia membuat surat pernyataan kepada perusahaan, yang dituliskan oleh teman satu kosnya yang juga buruh PT CPS. Sorenya, surat itu difotokopi dan berencana dibagikan ke teman-temannya pada pertemuan malama hari. Tadinya surat itu hendak disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor tidak berhasil menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui satpam. Memenuhi rasa ingin tahu perkembangan ke-13 teman-temannya, sepulang mengantar surat, Marsinah kembali ke pondokan seorang temannya. Menjelang Maghrib, bersama empat temannya mereka memutuskan menyusul ke Kodim untuk mencari kabar. Tiga temannya naik kendaraan umum. Ia sendiri membonceng sepeda motor, dan sempat tersesat hingga pusat kota Sidoarjo. Di Makodim Sidoarjo, tiga temannya sudah tiba lebih dulu. Tapi mereka semua terlambat. Ke 13 temannya sudah kembali pulang. Dalam perjalalan pulang besepeda motor, Marsinah sempat mampir ke beberapa teman buruhnya untuk membagi-bagikan foto kopi surat pernyataannya. Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai, Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke pamanya yang jaksa di Surabaya itu. Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah seorang teman perempuannya. Ia mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit. Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam. Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993. Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan” Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya, siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim? Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring. Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya. Missing link itu tak pernah terungkap di pengadilan sesat yang sarat rekayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini hanya menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan. Maka penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan, pertangahan 1995. Kepolisian RI turun tangan. Tim forensik dari Jakarta membongkar ulang (yang ketiga kalinya!) makam Marsinah. Berbagai komentar dan analisa merebak di surat kabar. Komnas HAM mendukung penyelidikan ulang. Panglima ABRI menginstruksikan pengusutan. Bahkan Menaker Abdul Latief berjanji mengungkapnya hingga tuntas, dan Presiden Suharto kala itu mendukungnya. Namun tak ada ‘hasil’ apapaun yang dicapai dari hiruk-pikuk wacana itu. Isu-isu lain menelan kasus ini kembali ke bawah permukaan, dan orang lupa atau coba melupakannya. Pun saat rejim berganti. Ingatan banyak orang mencuat kembali. Baik pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk mengungkap kegegeran lama itu, apapun penyebabnya: tekanan internasional, tuntutan LSM, legitimasi politik, hak asasi manusia, rasa bersalah ataupun upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan, rule of law. Bahkan, terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan beberapa perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan bertanggungjawab atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak. Tak ada informasi yang signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak ada fakta-fakta dan bukit-bukti ‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi upaya meraih keadilan. Semua pertanyaan kunci sederhana tak pernah terjawab: kapan Marsinah mati, di mana, oleh siapa, dengan cara bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak dijawab, oleh siapapun kita. Kita merasa cukup puas, bahkan terpuaskan, sekedar menyatakan: “Marsinah, seperti halnya sebagaian besar kita, adalah korban dari suatu mesin kekuasaan dan kekerasan, yang bernama Orde Baru”. Dan kita merasa mampu, dengan rasa bangga, menobatkannya menjadi seorang pahlawan, yang mengasingkan dirinya, juga diri kita, dari kehidupan sehari-hari. Karena kita masih menjadi bagian: Orde Baru.
Artikel dikolom kiri Artikel dikolom tengah Artikel dikolom kanan

Menyunting Sejarah Indonesia (bagian)

== Dampak Spanyol Bagi Ekonomi Indonesia Utara == Diplomasi para pemimpin pemerintahan Walak mendekati Belanda berhasil mengusir Spanyol dari Minahasa. Namun konsekwensi yang harus dialami adalah rintisan jalur niaga laut di Pasifik hasil rintisan Spanyol sejak abad ke-17 terhenti dan memengaruhi perekonomian Sulawesi Utara. Sebab jalur niaga ini sangat bermanfaat bagi penyebaran komoditi eskpor ke Pasifik. Sejak itupun pelabuhan Manado menjadi sepi dan tidak berkembang yang turut memengaruhi pengembangan kawasan Indonesia bagian Timur hingga Pasifik Barat Daya. Dilain pihak, pelabuhan Manado hanya menjadi persinggahan jalur niaga dari Selatan (berpusat di Surabaya, Tanjung Priok yang dibangun oleh Belanda sejak abad ke-XVIII) ke Asia-Timur melalui lintasan Selat Makassar. Itupun hanya digunakan musiman saat laut Cina Selatan tidak di landa gelombang ganas bagi kapal-kapal. Sedangkan semua jalur niaga Asia-Timur dipusatkan melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Tanjung Harapan Atlantik-Utara yang merupakan pusat perdagangan dunia. Sebagai akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi secara langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu. Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman Minahasa.

Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945

Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah. Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti. Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ). Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta. Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain. Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang. Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…” Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika. Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.

Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan » Sultan_Hamid_II

http://sejarahbangsaindonesia.files.wordpress.com/2011/05/sultan_hamid_ii.jpgSiapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

Periode Kejayaan Portugis di Nusantara

Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku. Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka. Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa. Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate. Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda. Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC. kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur (sejak 1515). Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.

Prasejarah

== Era pra kolonial == === Sejarah awal === {{lihat pula|Sejarah Nusantara}} Para cendekiawan [[India]] telah menulis tentang [[Dwipantara]] atau kerajaan [[Hindu]] [[Jawa Dwipa]] di pulau [[Jawa]] dan [[Sumatra]] sekitar [[200 SM]]. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak [[Hinduisme]] pada abad ke-5, yaitu: Kerajaan [[Tarumanagara]] yang menguasai [[Jawa Barat]] dan [[Kerajaan Kutai]] di pesisir [[Sungai Mahakam]], [[Kalimantan]]. Pada tahun [[425]] agama [[Buddha]] telah mencapai wilayah tersebut. Di saat [[Eropa]] memasuki masa [[Renaisans]], [[Nusantara]] telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu [[Sriwijaya]] di [[Sumatra]] dan [[Majapahit]] di [[Jawa]], ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang sering kali menjadi [[vazal]] tetangganya yang lebih kuat atau saling terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di [[Maluku]]). === Kerajaan Hindu-Buddha === {{utama|Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha}} [[Berkas:Prasasti tugu.jpg|thumb|200px|Prasasti Tugu peninggalan Raja [[Purnawarman dari Taruma]]]] Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan [[Tarumanagara]] yang dilanjutkan dengan [[Kerajaan Sunda]] sampai abad ke-16. Pada masa [[abad ke-7]] hingga [[abad ke-14]], kerajaan Buddha [[Sriwijaya]] berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok [[I Ching]] mengunjungi ibukotanya [[Palembang]] sekitar tahun [[670]]. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh [[Jawa Barat]] dan [[Semenanjung Melayu]]. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan [[Hindu]] di [[Jawa Timur]], [[Majapahit]]. Patih Majapahit antara tahun [[1331]] hingga [[1364]], [[Gajah Mada]] berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam [[wiracarita]] ''[[Ramayana]]''.

=== Kerajaan Islam === {{utama|Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam}} [[Islam]] sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar [[abad ke-12]], namun sebenarnya [[Islam]] sudah sudah masuk ke [[Indonesia]] pada abad 7 [[Masehi]]. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan [[Dinasti Tang]] di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan [[Bani Umayyah]] di Asia Barat sejak abad 7.Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma'arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat. Menurut sumber-sumber [[Cina]] menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang [[Bangsa Arab|Arab]] menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai [[Sumatera]]. [[Islam]] pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) [[Raja]] [[Sriwijaya]] [[Jambi]] yang bernama [[Srindravarman]] mengirim surat kepada [[Khalifah]] [[Umar bin Abdul Aziz]] dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan [[Allah]]. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan [[Islam]] kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula [[Hindu]], masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya [[Palembang]] yang masih menganut [[Budha]].Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6. [[Islam]] terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama [[Kesultanan Peureulak]] didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama [[Bayanullah dari Ternate|Bayanullah]]. [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kesultanan Islam]] kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir [[abad ke-16]] di Jawa dan Sumatera. Hanya [[Bali]] yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan [[Kristen]] dan [[Islam]] diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan [[abad ke-17|17]], dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar [[dakwah]] atau [[mubaligh]] merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar [[Indonesia]], maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para [[mubaligh]] ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para [[pedagang]] dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya: [[Kerajaan Samudera Pasai]], [[Kesultanan Banten]] yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, [[Kerajaan Mataram]], [[Kerajaan Iha]], [[Kesultanan Ternate]] dan [[Kesultanan Tidore]] di [[Maluku]].

Sejarah Indonesia Tahun 1940

Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang. Jepang membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau 独立準備調査会 (Dokuritsu junbi chōsa-kai?) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yg tugasnya menyiapkan kemerdekaan. Daftar isi 1 Latar Belakang 2 Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang 3 Sosial Budaya 3.1 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang 3.2 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern 4 Perlawanan rakyat terhadap Jepang 5 Garis waktu 5.1 1941 5.2 1942 5.2.1 Januari 5.2.2 Februari 5.2.3 Maret 5.2.4 April 5.2.5 Mei 5.2.6 Juni 5.2.7 Juli 5.2.8 Agustus, September, Oktober 5.2.9 November, Desember 5.3 1943 5.4 1944 5.5 1945 5.5.1 Januari-April 5.5.2 Mei 5.5.3 Juni 5.5.4 Juli 6 Periode menjelang Kemerdekaan RI 7 Pasca-Kemerdekaan 8 Sekutu 9 Dampak Pendudukan Jepang Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Bangsa Indonesia 9.1 Aspek Politik 9.2 Aspek Ekonomi dan Sosial 9.3 Aspek Kehidupan Militer 10 Dampak Positif dan Negatif Pendudukan Jepang di Indonesia 10.1 Dampak Positif Pendudukan Jepang 10.2 Dampak Negatif Pendudukan Jepang 11 Referensi 12 Pranala luar Latar Belakang Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang. Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor. Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang. Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama. Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang Pembela Tanah Air (Peta) Gakukotai (laskar pelajar) Heiho (barisan cadangan prajurit) Seinendan (barisan pemuda) Fujinkai (barisan wanita) Putera (Pusat Tenaga Rakyat) Jawa Hokokai Keibodan (barisan pembantu polisi) Jibakutai (pasukan berani mati) Kempetai (barisan polisi rahasia) Sosial Budaya Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini disebabkan oleh Jepang ingin yang mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya. Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern Saat ini, industrialisasi modern tentu membawa dampak yang jauh lebih luas daripada industrialisasi pada masa Kolonial Belanda. Di perkotaan, terdapat pergeseran struktur pekerjaan dan angkatan kerja. Misalnya, sekarang muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang dahulu tidak ada, yaitu jasa konsultan, advokasi, dan lembaga bantuan hukum. Angkatan kerja juga mengalami pergeseran, terutama dalam hal gender. Dahulu, tenaga kerja sangat dimonopoli kaum laki-laki. Namun saat ini, kaum perempuan telah berperan di segala bidang pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, penentuan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek ekonomi semata, tetapi juga ditentukan oleh aspek lain, seperti faktor kelangkaan dan profesionalitas seseorang. Hal ini disebabkan oleh masyarakat industri yang memang sangat mengahrgai kreativitas yang mampu memberi nilai tambah dalam pekerjaan. Akibatnya, orang yang berpendidikan tinggi sangat dihargai oleh masyarakat industri. Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah ditempatkan pada strata bawah.

Rabu, 26 September 2012

Perkembangan Di INDONESIA

1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini menggonakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda. 2. HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA. 3. Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun. http://indonesiatanahairku-indonesia.blogspot.com/ 4. Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun. 5. Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun. 6. Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar mengajar. http://indonesiatanahairku-indonesia.blogspot.com/ STOVIA 7. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan smp / sltp pada saat jika dibandingkan dengan masa kini. 8. Stovia (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) yang sering disebut juga sebagai Sekolah Dokter Jawa dengan masa belajar selama 7 tahun sebagai lanjutan MULO.

I Love INDONESIA

Total Tayangan Halaman

Fairuz's COM

Jika Anda Cinta INDONESIA Klik Like Ia..... :D

blog-indonesia.com
Flag Counter

Sabtu, 29 September 2012



Kamis, 27 September 2012


Kompas, edisi khusus ulang tahun, Rabu, 28 Juni 2000. Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding terbuka di ping...

Artikel dikolom kiri Artikel dikolom tengah Artikel dikolom kanan
Menyunting Sejarah Indonesia (bagian)
== Dampak Spanyol Bagi Ekonomi Indonesia Utara == Diplomasi para pemimpin pemerintahan Walak mendekati Belanda berhasil mengusir Spanyol da...
Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka ...
Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan » Sultan_Hamid_II
http://sejarahbangsaindonesia.files.wordpress.com/2011/05/sultan_hamid_ii.jpgSiapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangku...
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute mar...
Prasejarah
== Era pra kolonial == === Sejarah awal === {{lihat pula|Sejarah Nusantara}} Para cendekiawan [[India]] telah menulis tentang [[Dwipantara]...
Sejarah Indonesia Tahun 1940
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan ...

Rabu, 26 September 2012

Perkembangan Di INDONESIA
1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Seko...

Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com
Microsoft Windows 2000 Professional with SP4 - Indowebster.com Date upload: 1-Sep-2008 Size: 380.81 MB

Entri Populer

 
Template Indonesia | Cintailah Tanah Air Kita Seperti Kita Cinta Dengan Kedua Orang Tua Kita
Aku cinta Indonesia