Kamis, 27 September 2012

Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945

Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah. Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti. Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ). Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta. Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain. Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono. Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang. Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…” Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika. Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.

Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan » Sultan_Hamid_II

http://sejarahbangsaindonesia.files.wordpress.com/2011/05/sultan_hamid_ii.jpgSiapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

Periode Kejayaan Portugis di Nusantara

Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku. Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka. Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa. Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate. Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda. Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC. kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur (sejak 1515). Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.

Prasejarah

== Era pra kolonial == === Sejarah awal === {{lihat pula|Sejarah Nusantara}} Para cendekiawan [[India]] telah menulis tentang [[Dwipantara]] atau kerajaan [[Hindu]] [[Jawa Dwipa]] di pulau [[Jawa]] dan [[Sumatra]] sekitar [[200 SM]]. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak [[Hinduisme]] pada abad ke-5, yaitu: Kerajaan [[Tarumanagara]] yang menguasai [[Jawa Barat]] dan [[Kerajaan Kutai]] di pesisir [[Sungai Mahakam]], [[Kalimantan]]. Pada tahun [[425]] agama [[Buddha]] telah mencapai wilayah tersebut. Di saat [[Eropa]] memasuki masa [[Renaisans]], [[Nusantara]] telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu [[Sriwijaya]] di [[Sumatra]] dan [[Majapahit]] di [[Jawa]], ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang sering kali menjadi [[vazal]] tetangganya yang lebih kuat atau saling terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di [[Maluku]]). === Kerajaan Hindu-Buddha === {{utama|Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha}} [[Berkas:Prasasti tugu.jpg|thumb|200px|Prasasti Tugu peninggalan Raja [[Purnawarman dari Taruma]]]] Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan [[Tarumanagara]] yang dilanjutkan dengan [[Kerajaan Sunda]] sampai abad ke-16. Pada masa [[abad ke-7]] hingga [[abad ke-14]], kerajaan Buddha [[Sriwijaya]] berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok [[I Ching]] mengunjungi ibukotanya [[Palembang]] sekitar tahun [[670]]. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh [[Jawa Barat]] dan [[Semenanjung Melayu]]. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan [[Hindu]] di [[Jawa Timur]], [[Majapahit]]. Patih Majapahit antara tahun [[1331]] hingga [[1364]], [[Gajah Mada]] berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam [[wiracarita]] ''[[Ramayana]]''.

=== Kerajaan Islam === {{utama|Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam}} [[Islam]] sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar [[abad ke-12]], namun sebenarnya [[Islam]] sudah sudah masuk ke [[Indonesia]] pada abad 7 [[Masehi]]. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan [[Dinasti Tang]] di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan [[Bani Umayyah]] di Asia Barat sejak abad 7.Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma'arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat. Menurut sumber-sumber [[Cina]] menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang [[Bangsa Arab|Arab]] menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai [[Sumatera]]. [[Islam]] pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) [[Raja]] [[Sriwijaya]] [[Jambi]] yang bernama [[Srindravarman]] mengirim surat kepada [[Khalifah]] [[Umar bin Abdul Aziz]] dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan [[Allah]]. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan [[Islam]] kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula [[Hindu]], masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya [[Palembang]] yang masih menganut [[Budha]].Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6. [[Islam]] terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama [[Kesultanan Peureulak]] didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama [[Bayanullah dari Ternate|Bayanullah]]. [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kesultanan Islam]] kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir [[abad ke-16]] di Jawa dan Sumatera. Hanya [[Bali]] yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan [[Kristen]] dan [[Islam]] diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan [[abad ke-17|17]], dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar [[dakwah]] atau [[mubaligh]] merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar [[Indonesia]], maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para [[mubaligh]] ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para [[pedagang]] dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya: [[Kerajaan Samudera Pasai]], [[Kesultanan Banten]] yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, [[Kerajaan Mataram]], [[Kerajaan Iha]], [[Kesultanan Ternate]] dan [[Kesultanan Tidore]] di [[Maluku]].

Sejarah Indonesia Tahun 1940

Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang. Jepang membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau 独立準備調査会 (Dokuritsu junbi chōsa-kai?) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yg tugasnya menyiapkan kemerdekaan. Daftar isi 1 Latar Belakang 2 Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang 3 Sosial Budaya 3.1 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang 3.2 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern 4 Perlawanan rakyat terhadap Jepang 5 Garis waktu 5.1 1941 5.2 1942 5.2.1 Januari 5.2.2 Februari 5.2.3 Maret 5.2.4 April 5.2.5 Mei 5.2.6 Juni 5.2.7 Juli 5.2.8 Agustus, September, Oktober 5.2.9 November, Desember 5.3 1943 5.4 1944 5.5 1945 5.5.1 Januari-April 5.5.2 Mei 5.5.3 Juni 5.5.4 Juli 6 Periode menjelang Kemerdekaan RI 7 Pasca-Kemerdekaan 8 Sekutu 9 Dampak Pendudukan Jepang Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Bangsa Indonesia 9.1 Aspek Politik 9.2 Aspek Ekonomi dan Sosial 9.3 Aspek Kehidupan Militer 10 Dampak Positif dan Negatif Pendudukan Jepang di Indonesia 10.1 Dampak Positif Pendudukan Jepang 10.2 Dampak Negatif Pendudukan Jepang 11 Referensi 12 Pranala luar Latar Belakang Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang. Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor. Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang. Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama. Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang Pembela Tanah Air (Peta) Gakukotai (laskar pelajar) Heiho (barisan cadangan prajurit) Seinendan (barisan pemuda) Fujinkai (barisan wanita) Putera (Pusat Tenaga Rakyat) Jawa Hokokai Keibodan (barisan pembantu polisi) Jibakutai (pasukan berani mati) Kempetai (barisan polisi rahasia) Sosial Budaya Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini disebabkan oleh Jepang ingin yang mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya. Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern Saat ini, industrialisasi modern tentu membawa dampak yang jauh lebih luas daripada industrialisasi pada masa Kolonial Belanda. Di perkotaan, terdapat pergeseran struktur pekerjaan dan angkatan kerja. Misalnya, sekarang muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang dahulu tidak ada, yaitu jasa konsultan, advokasi, dan lembaga bantuan hukum. Angkatan kerja juga mengalami pergeseran, terutama dalam hal gender. Dahulu, tenaga kerja sangat dimonopoli kaum laki-laki. Namun saat ini, kaum perempuan telah berperan di segala bidang pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, penentuan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek ekonomi semata, tetapi juga ditentukan oleh aspek lain, seperti faktor kelangkaan dan profesionalitas seseorang. Hal ini disebabkan oleh masyarakat industri yang memang sangat mengahrgai kreativitas yang mampu memberi nilai tambah dalam pekerjaan. Akibatnya, orang yang berpendidikan tinggi sangat dihargai oleh masyarakat industri. Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah ditempatkan pada strata bawah.

Rabu, 26 September 2012

Perkembangan Di INDONESIA

1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini menggonakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda. 2. HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA. 3. Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun. http://indonesiatanahairku-indonesia.blogspot.com/ 4. Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun. 5. Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun. 6. Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar mengajar. http://indonesiatanahairku-indonesia.blogspot.com/ STOVIA 7. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan smp / sltp pada saat jika dibandingkan dengan masa kini. 8. Stovia (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) yang sering disebut juga sebagai Sekolah Dokter Jawa dengan masa belajar selama 7 tahun sebagai lanjutan MULO.

Rabu, 19 September 2012

==Sifat kesempurnaan== Dua puluh yang tertera di atas yang wajib bagi Allah terkandung di dalam dua sifat kesempurnaan. Sifat tersebut adalah: * Istigna' ( '''???????''' ) :*Kaya Allah daripada sekelian yang lain daripada-Nya iaitu tidak berkehendak ia kepada sesuatu. Maksudnya, Allah tidak mengkehendaki yang lain menjadikan-Nya dan tidak berkehendakkan tempat berdiri bagi zat-Nya. Contohnya, Allah tidak memerlukan dan tidak mengkehendaki malaikat untuk menciptakan Arasy. :*Maka, Maha suci Tuhan daripada tujuan pada sekelian perbuatan dan hukum-hukumnya dan tidak wajib bagi-Nya membuat sesuatu atau meninggalkan sesuatu. :*Sifatnya: ''wujud, qidam, baqa', mukhalafatuhu lilhawadith, qiamuhu binafsih, sama', basar, kalam, kaunuhu sami'an, kaunuhu basiran, kaunuhu mutakalliman''. * Iftiqar ( '''??????''' ) :*Yang lain berkehendakkan sesuatu daripada Allah iaitu yang lain berkehendakkan daripada Allah untuk menjadikan dan menentukan mereka dengan perkara yang harus. Contohnya, manusia memohon kepada Allah melancarkan hidupnya. :*Sifatnya: ''wahdaniat, qudrat, iradat, ilmu, hayat, kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu hayyan''

Rabu, 29 Agustus 2012

IP Addressing and Subnetting


Introduction

This document gives you basic information needed in order to configure your router for routing IP, such as how addresses are broken down and how subnetting works. You learn how to assign each interface on the router an IP address with a unique subnet. There are many examples to help tie everything together.

Prerequisites

Requirements

Cisco recommends that you have knowledge of these topics:
  • Basic understanding of binary and decimal numbers.

Components Used

This document is not restricted to specific software and hardware versions.

Additional Information

If definitions are helpful to you, use these vocabulary terms to get you started:
  • Address—The unique number ID assigned to one host or interface in a network.
  • Subnet—A portion of a network sharing a particular subnet address.
  • Subnet mask—A 32-bit combination used to describe which portion of an address refers to the subnet and which part refers to the host.
  • Interface—A network connection.
If you have already received your legitimate address(es) from the Internet Network Information Center (InterNIC), you are ready to begin. If you do not plan to connect to the Internet, Cisco strongly suggests that you use reserved addresses from RFC 1918 leavingcisco.com.

Conventions

Refer to Cisco Technical Tips Conventions for more information on document conventions.

Understanding IP Addresses

An IP address is an address used in order to uniquely identify a device on an IP network. The address is made up of 32 binary bits, which can be divisible into a network portion and host portion with the help of a subnet mask. The 32 binary bits are broken into four octets (1 octet = 8 bits). Each octet is converted to decimal and separated by a period (dot). For this reason, an IP address is said to be expressed in dotted decimal format (for example, 172.16.81.100). The value in each octet ranges from 0 to 255 decimal, or 00000000 - 11111111 binary.
Here is how binary octets convert to decimal: The right most bit, or least significant bit, of an octet holds a value of 20. The bit just to the left of that holds a value of 21. This continues until the left-most bit, or most significant bit, which holds a value of 27. So if all binary bits are a one, the decimal equivalent would be 255 as shown here:
    1  1  1  1 1 1 1 1
  128 64 32 16 8 4 2 1 (128+64+32+16+8+4+2+1=255)
Here is a sample octet conversion when not all of the bits are set to 1.
  0  1 0 0 0 0 0 1
  0 64 0 0 0 0 0 1 (0+64+0+0+0+0+0+1=65)
And this is sample shows an IP address represented in both binary and decimal.
        10.       1.      23.      19 (decimal)
  00001010.00000001.00010111.00010011 (binary)
These octets are broken down to provide an addressing scheme that can accommodate large and small networks. There are five different classes of networks, A to E. This document focuses on addressing classes A to C, since classes D and E are reserved and discussion of them is beyond the scope of this document.

Note: Also note that the terms "Class A, Class B" and so on are used in this document to help facilitate the understanding of IP addressing and subnetting. These terms are rarely used in the industry anymore because of the introduction of classless interdomain routing (CIDR).
Given an IP address, its class can be determined from the three high-order bits. Figure 1 shows the significance in the three high order bits and the range of addresses that fall into each class. For informational purposes, Class D and Class E addresses are also shown.
Figure 1 3an.gif
In a Class A address, the first octet is the network portion, so the Class A example in Figure 1 has a major network address of 1.0.0.0 - 127.255.255.255. Octets 2, 3, and 4 (the next 24 bits) are for the network manager to divide into subnets and hosts as he/she sees fit. Class A addresses are used for networks that have more than 65,536 hosts (actually, up to 16777214 hosts!).
In a Class B address, the first two octets are the network portion, so the Class B example in Figure 1 has a major network address of 128.0.0.0 - 191.255.255.255. Octets 3 and 4 (16 bits) are for local subnets and hosts. Class B addresses are used for networks that have between 256 and 65534 hosts.
In a Class C address, the first three octets are the network portion. The Class C example in Figure 1 has a major network address of 192.0.0.0 - 233.255.255.255. Octet 4 (8 bits) is for local subnets and hosts - perfect for networks with less than 254 hosts.

Network Masks

A network mask helps you know which portion of the address identifies the network and which portion of the address identifies the node. Class A, B, and C networks have default masks, also known as natural masks, as shown here:
Class A: 255.0.0.0
Class B: 255.255.0.0
Class C: 255.255.255.0
An IP address on a Class A network that has not been subnetted would have an address/mask pair similar to: 8.20.15.1 255.0.0.0. To see how the mask helps you identify the network and node parts of the address, convert the address and mask to binary numbers.
8.20.15.1 = 00001000.00010100.00001111.00000001
255.0.0.0 = 11111111.00000000.00000000.00000000
Once you have the address and the mask represented in binary, then identifying the network and host ID is easier. Any address bits which have corresponding mask bits set to 1 represent the network ID. Any address bits that have corresponding mask bits set to 0 represent the node ID.
8.20.15.1 = 00001000.00010100.00001111.00000001
255.0.0.0 = 11111111.00000000.00000000.00000000
            -----------------------------------
             net id |      host id             

netid =  00001000 = 8
hostid = 00010100.00001111.00000001 = 20.15.1

Understanding Subnetting

Subnetting allows you to create multiple logical networks that exist within a single Class A, B, or C network. If you do not subnet, you are only able to use one network from your Class A, B, or C network, which is unrealistic.
Each data link on a network must have a unique network ID, with every node on that link being a member of the same network. If you break a major network (Class A, B, or C) into smaller subnetworks, it allows you to create a network of interconnecting subnetworks. Each data link on this network would then have a unique network/subnetwork ID. Any device, or gateway, connecting n networks/subnetworks has n distinct IP addresses, one for each network / subnetwork that it interconnects.
In order to subnet a network, extend the natural mask using some of the bits from the host ID portion of the address to create a subnetwork ID. For example, given a Class C network of 204.17.5.0 which has a natural mask of 255.255.255.0, you can create subnets in this manner:
204.17.5.0 -      11001100.00010001.00000101.00000000
255.255.255.224 - 11111111.11111111.11111111.11100000
                  --------------------------|sub|----
By extending the mask to be 255.255.255.224, you have taken three bits (indicated by "sub") from the original host portion of the address and used them to make subnets. With these three bits, it is possible to create eight subnets. With the remaining five host ID bits, each subnet can have up to 32 host addresses, 30 of which can actually be assigned to a device since host ids of all zeros or all ones are not allowed (it is very important to remember this). So, with this in mind, these subnets have been created.
204.17.5.0 255.255.255.224     host address range 1 to 30
204.17.5.32 255.255.255.224    host address range 33 to 62
204.17.5.64 255.255.255.224    host address range 65 to 94
204.17.5.96 255.255.255.224    host address range 97 to 126
204.17.5.128 255.255.255.224   host address range 129 to 158
204.17.5.160 255.255.255.224   host address range 161 to 190
204.17.5.192 255.255.255.224   host address range 193 to 222
204.17.5.224 255.255.255.224   host address range 225 to 254
Note: There are two ways to denote these masks. First, since you are using three bits more than the "natural" Class C mask, you can denote these addresses as having a 3-bit subnet mask. Or, secondly, the mask of 255.255.255.224 can also be denoted as /27 as there are 27 bits that are set in the mask. This second method is used with CIDR. With this method, one of these networks can be described with the notation prefix/length. For example, 204.17.5.32/27 denotes the network 204.17.5.32 255.255.255.224. When appropriate the prefix/length notation is used to denote the mask throughout the rest of this document.
The network subnetting scheme in this section allows for eight subnets, and the network might appear as:
Figure 2 3b.gif
Notice that each of the routers in Figure 2 is attached to four subnetworks, one subnetwork is common to both routers. Also, each router has an IP address for each subnetwork to which it is attached. Each subnetwork could potentially support up to 30 host addresses.
This brings up an interesting point. The more host bits you use for a subnet mask, the more subnets you have available. However, the more subnets available, the less host addresses available per subnet. For example, a Class C network of 204.17.5.0 and a mask of 255.255.255.224 (/27) allows you to have eight subnets, each with 32 host addresses (30 of which could be assigned to devices). If you use a mask of 255.255.255.240 (/28), the break down is:
204.17.5.0 -      11001100.00010001.00000101.00000000
255.255.255.240 - 11111111.11111111.11111111.11110000
                  --------------------------|sub |---
Since you now have four bits to make subnets with, you only have four bits left for host addresses. So in this case you can have up to 16 subnets, each of which can have up to 16 host addresses (14 of which can be assigned to devices).
Take a look at how a Class B network might be subnetted. If you have network 172.16.0.0 ,then you know that its natural mask is 255.255.0.0 or 172.16.0.0/16. Extending the mask to anything beyond 255.255.0.0 means you are subnetting. You can quickly see that you have the ability to create a lot more subnets than with the Class C network. If you use a mask of 255.255.248.0 (/21), how many subnets and hosts per subnet does this allow for?
172.16.0.0  -   10101100.00010000.00000000.00000000
255.255.248.0 - 11111111.11111111.11111000.00000000
                -----------------| sub |-----------
You are using five bits from the original host bits for subnets. This allows you to have 32 subnets (25). After using the five bits for subnetting, you are left with 11 bits for host addresses. This allows each subnet so have 2048 host addresses (211), 2046 of which could be assigned to devices.
Note: In the past, there were limitations to the use of a subnet 0 (all subnet bits are set to zero) and all ones subnet (all subnet bits set to one). Some devices would not allow the use of these subnets. Cisco Systems devices allow the use of these subnets when theip subnet zero command is configured.

Examples

Sample Exercise 1

Now that you have an understanding of subnetting, put this knowledge to use. In this example, you are given two address / mask combinations, written with the prefix/length notation, which have been assigned to two devices. Your task is to determine if these devices are on the same subnet or different subnets. You can do this by using the address and mask of each device to determine to which subnet each address belongs.
DeviceA: 172.16.17.30/20
DeviceB: 172.16.28.15/20
Determining the Subnet for DeviceA:
172.16.17.30  -   10101100.00010000.00010001.00011110
255.255.240.0 -   11111111.11111111.11110000.00000000
                  -----------------| sub|------------
subnet =          10101100.00010000.00010000.00000000 = 172.16.16.0
Looking at the address bits that have a corresponding mask bit set to one, and setting all the other address bits to zero (this is equivalent to performing a logical "AND" between the mask and address), shows you to which subnet this address belongs. In this case, DeviceA belongs to subnet 172.16.16.0.
Determining the Subnet for DeviceB:
172.16.28.15  -   10101100.00010000.00011100.00001111
255.255.240.0 -   11111111.11111111.11110000.00000000
                  -----------------| sub|------------
subnet =          10101100.00010000.00010000.00000000 = 172.16.16.0
From these determinations, DeviceA and DeviceB have addresses that are part of the same subnet.

Sample Exercise 2

Given the Class C network of 204.15.5.0/24, subnet the network in order to create the network in Figure 3 with the host requirements shown.
Figure 3 3c.gif
Looking at the network shown in Figure 3, you can see that you are required to create five subnets. The largest subnet must support 28 host addresses. Is this possible with a Class C network? and if so, then how?
You can start by looking at the subnet requirement. In order to create the five needed subnets you would need to use three bits from the Class C host bits. Two bits would only allow you four subnets (22).
Since you need three subnet bits, that leaves you with five bits for the host portion of the address. How many hosts does this support? 25 = 32 (30 usable). This meets the requirement.
Therefore you have determined that it is possible to create this network with a Class C network. An example of how you might assign the subnetworks is:
netA: 204.15.5.0/27      host address range 1 to 30
netB: 204.15.5.32/27     host address range 33 to 62
netC: 204.15.5.64/27     host address range 65 to 94
netD: 204.15.5.96/27     host address range 97 to 126
netE: 204.15.5.128/27    host address range 129 to 158

VLSM Example

In all of the previous examples of subnetting, notice that the same subnet mask was applied for all the subnets. This means that each subnet has the same number of available host addresses. You can need this in some cases, but, in most cases, having the same subnet mask for all subnets ends up wasting address space. For example, in the Sample Exercise 2 section, a class C network was split into eight equal-size subnets; however, each subnet did not utilize all available host addresses, which results in wasted address space. Figure 4 illustrates this wasted address space.
Figure 4 3d.gif
Figure 4 illustrates that of the subnets that are being used, NetA, NetC, and NetD have a lot of unused host address space. It is possible that this was a deliberate design accounting for future growth, but in many cases this is just wasted address space due to the fact that the same subnet mask is being used for all the subnets.
Variable Length Subnet Masks (VLSM) allows you to use different masks for each subnet, thereby using address space efficiently.

VLSM Example

Given the same network and requirements as in Sample Exercise 2 develop a subnetting scheme with the use of VLSM, given:
netA: must support 14 hosts
netB: must support 28 hosts
netC: must support 2 hosts
netD: must support 7 hosts
netE: must support 28 host
Determine what mask allows the required number of hosts.
netA: requires a /28 (255.255.255.240) mask to support 14 hosts
netB: requires a /27 (255.255.255.224) mask to support 28 hosts
netC: requires a /30 (255.255.255.252) mask to support 2 hosts
netD*: requires a /28 (255.255.255.240) mask to support 7 hosts
netE: requires a /27 (255.255.255.224) mask to support 28 hosts

* a /29 (255.255.255.248) would only allow 6 usable host addresses
  therefore netD requires a /28 mask.
The easiest way to assign the subnets is to assign the largest first. For example, you can assign in this manner:
netB: 204.15.5.0/27  host address range 1 to 30
netE: 204.15.5.32/27 host address range 33 to 62
netA: 204.15.5.64/28 host address range 65 to 78
netD: 204.15.5.80/28 host address range 81 to 94
netC: 204.15.5.96/30 host address range 97 to 98
This can be graphically represented as shown in Figure 5:
Figure 5 3e.gif
Figure 5 illustrates how using VLSM helped save more than half of the address space.

CIDR

Classless Interdomain Routing (CIDR) was introduced to improve both address space utilization and routing scalability in the Internet. It was needed because of the rapid growth of the Internet and growth of the IP routing tables held in the Internet routers.
CIDR moves way from the traditional IP classes (Class A, Class B, Class C, and so on). In CIDR , an IP network is represented by a prefix, which is an IP address and some indication of the length of the mask. Length means the number of left-most contiguous mask bits that are set to one. So network 172.16.0.0 255.255.0.0 can be represented as 172.16.0.0/16. CIDR also depicts a more hierarchical Internet architecture, where each domain takes its IP addresses from a higher level. This allows for the summarization of the domains to be done at the higher level. For example, if an ISP owns network 172.16.0.0/16, then the ISP can offer 172.16.1.0/24, 172.16.2.0/24, and so on to customers. Yet, when advertising to other providers, the ISP only needs to advertise 172.16.0.0/16.
For more information on CIDR, see RFC 1518 leavingcisco.com and RFC 1519 leavingcisco.com.

Appendix

Sample Config

Routers A and B are connected via serial interface.

Router A

  hostname routera
  !
  ip routing
  !
  int e 0
  ip address 172.16.50.1 255.255.255.0
  !(subnet 50)
  int e 1 ip address 172.16.55.1 255.255.255.0
  !(subnet 55)
  int t 0 ip address 172.16.60.1 255.255.255.0
  !(subnet 60) int s 0
  ip address 172.16.65.1 255.255.255.0 (subnet 65)
  !S 0 connects to router B
  router rip
  network 172.16.0.0

Router B

  hostname routerb
  !
  ip routing
  !
  int e 0
  ip address 192.1.10.200 255.255.255.240
  !(subnet 192)
  int e 1
  ip address 192.1.10.66 255.255.255.240
  !(subnet 64)
  int s 0
  ip address 172.16.65.2 (same subnet as router A's s 0)
  !Int s 0 connects to router A
  router rip
  network 192.1.10.0
  network 172.16.0.0

Host/Subnet Quantities Table

Class B                   Effective  Effective
# bits        Mask         Subnets     Hosts
-------  ---------------  ---------  ---------
  1      255.255.128.0           2     32766
  2      255.255.192.0           4     16382
  3      255.255.224.0           8      8190
  4      255.255.240.0          16      4094
  5      255.255.248.0          32      2046
  6      255.255.252.0          64      1022
  7      255.255.254.0         128       510
  8      255.255.255.0         256       254
  9      255.255.255.128       512       126
  10     255.255.255.192      1024        62
  11     255.255.255.224      2048        30
  12     255.255.255.240      4096        14
  13     255.255.255.248      8192         6
  14     255.255.255.252     16384         2

Class C                   Effective  Effective
# bits        Mask         Subnets     Hosts
-------  ---------------  ---------  ---------
  1      255.255.255.128      2        126 
  2      255.255.255.192      4         62
  3      255.255.255.224      8         30
  4      255.255.255.240     16         14
  5      255.255.255.248     32          6
  6      255.255.255.252     64          2

  
*Subnet all zeroes and all ones included. These 
 might not be supported on some legacy systems.
*Host all zeroes and all ones excluded.

I Love INDONESIA

Total Tayangan Halaman

Fairuz's COM

Jika Anda Cinta INDONESIA Klik Like Ia..... :D

blog-indonesia.com
Flag Counter

Kamis, 27 September 2012

Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka ...
Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan » Sultan_Hamid_II
http://sejarahbangsaindonesia.files.wordpress.com/2011/05/sultan_hamid_ii.jpgSiapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangku...
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute mar...
Prasejarah
== Era pra kolonial == === Sejarah awal === {{lihat pula|Sejarah Nusantara}} Para cendekiawan [[India]] telah menulis tentang [[Dwipantara]...
Sejarah Indonesia Tahun 1940
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan ...

Rabu, 26 September 2012

Perkembangan Di INDONESIA
1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Seko...

Rabu, 19 September 2012


==Sifat kesempurnaan== Dua puluh yang tertera di atas yang wajib bagi Allah terkandung di dalam dua sifat kesempurnaan. Sifat tersebut adala...

Rabu, 29 Agustus 2012

IP Addressing and Subnetting
Introduction This document gives you basic information needed in order to configure your router for routing IP, such as how addresses ar...

Note:  Also note that the terms "Class A, Class B" and so on are used in this document to help facilitate the understanding of ...

VLSM Example In all of the previous examples of subnetting, notice that the same subnet mask was applied for all the subnets. This means...

Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com
Microsoft Windows 2000 Professional with SP4 - Indowebster.com Date upload: 1-Sep-2008 Size: 380.81 MB

Entri Populer

 
Template Indonesia | Cintailah Tanah Air Kita Seperti Kita Cinta Dengan Kedua Orang Tua Kita
Aku cinta Indonesia